Kamis, 03 Februari 2011

Besaran dan satuan

Besaran adalah sesuatu yang dapat diukur dan memiliki nilai dan satuan. Dalam hal ini nilai yang dimaksud adalah nilai kuantitatif, atau nilai yangt diperoleh dari hasil pengukuran, bukan nilai kualitattif yang berdasarkan intuisi subjektif. Dalam fisika besaran dibagi menjadi dua, yaitu besaran pokok dan besaran turunan.

Besaran pokok

Besaran pokok adalah besaran yang murni, dalam artian besaran ini bukan merupakan turunan dari besaran lain. Adapun besaran pokok ada 7 yaitu, massa, panjang, waktu , suhu, kuat arus, jumlah molekul, intensitas cahaya

Massa (m) adalah ukuran yang digunakan untuk mengukur seberapa banyak zat yang dikandung suatu benda yang dalam hal ini ukuran fisisnya. Dalam SI satuan massa adalah Kg dan dalam CGS adalah gram ( g ). Dalam kehidupan sehari-hari, banyak orang-orang yang salah kaprah. Seringkali massa diidentikkan dengan berat, sehingga apabila kita membeli apel dengan massa 1 Kg, maka kita akan menyebutnya dengan berat 1 Kg, padahal berat adalah sebuah gaya yang merupakan turunan dari massa yang dikalikan dengan percepatan bumi  dan mempunyai simbol W dengan satuan Newton ( N ).

Panjang adalah suatu dimensi pengukuran untuk menunjukkan suatu jarak antara suatu titik dengan titik yang lain. Misalnya kita mempunyai sebuah batang kayu yang ujung-ujungnya kita namai ujung A dan ujung B, kemudian kita ukur jarak antara ujung A dan B tersebut, maka nilai yang kita peroleh dari kegiatan mengukur adalah panjang dari kayu tersebut. Adapun satuan panjang dalam SI ( Sistem Internasional ) adalah meter ( m ) dan simbol panjang adalah l ( length ). Dalam satuan lain, panjang dapat dinyatakan dengan satuan cm yaitu dengan system CGS ( Centimeter, Gram, Sekon ).

Waktu menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997) adalah seluruh rangkaian saat ketika proses, perbuatan atau keadaan berada atau berlangsung. Dalam hal ini, skala waktu merupakan interval antara dua buah keadaan/kejadian, atau bisa merupakan lama berlangsungnya suatu kejadian. Tiap masyarakat memilki pandangan yang relatif berbeda tentang waktu yang mereka jalani. Waktu mempunyai satuan dalam SI yaitu sekon ( s ) dan diberi simbol t ( time ).

Suhu (T ) adalah derajat panas atau dinginnya suatu benda. Suhu diperoleh dari gerakan –gerkan partikel penyusun suatu benda yang mempunyai energi tinggi. Satuan suhu dalam SI adalah Kelvin ( K ) dan dapat dinyatakan pula dengan satuan yang lain, misalnya Celcius, Reamur, dan Fahrenheit.

Kuat arus ( i )adalah nilai banyak sedikitnya elektron yang yang berpindah , dalam hal ini arah arus berkebalikan dengan arah electron, jika arus bergerak dari potensial tinggi ke potensial rendah, maka elekterin bergerak sebaliknya. Satuan arus dalm SI adalah Ampere ( A ).

Jumlah molekul ( N ) adalah nilai banyak sedikitnya molekul yang terkandung dalam suatu zat, dalam hal ini satuan jumlah molekul dalam SI adalah mol.

Intensitas cahaya adalah banyak sedikitnya cahaya yang menyinari. Satuan intensitas cahaya adalah Candela (Cd).

Besaran turunan

Besaran turunan adalah besaran yang diperoleh melalui kombinasi besaran pokok. Sebagai contoh kecepatan adalah kombinasi dari jarak ( panjang ) dan waktu yaitu dengan membagi jarak dengan waktu, dimana V( velocity ) adalah kecepatan, S adalah jarak, dan t adalah waktu , sehingga satuan dari kecepatan dalam SI adalah m/s. Adapun jumlah besaran turunan adalah ribuan yang dihasilkan dari berbagai hukum dan teori.

Read More......

Olimpiade Sains Nasional

 

 
logo OSN
 

Olimpiade Sains Nasional adalah ajang berkompetisi dalam bidang sains bagi para siswa pada jenjang SD, SMP, dan SMA di Indonesia. Siswa yang mengikuti Olimpiade Sains Nasional adalah siswa yang telah lolos seleksi tingkat kabupaten dan propinsi dan karenanya adalah siswa-siswa terbaik dari propinsinya masing-masing.


Pelaksanaan Olimpiade Sains Nasional ini didasarkan pada kesuksesan Indonesia sebagai tuan rumah Olimpiade Fisika Internasional (IPhO - International Physics Olympiad) yang diselenggarakan di Bali pada tahun 2002.

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                         Olimpiade Sains Nasional diadakan setiap tahun di kota yang berbeda-beda. Kegiatan ini merupakan salah satu bagian dari rangkaian seleksi yang dimulai dari tingkat sekolah, kemudian ke tingkat kabupaten sampai ke tingkat nasional untuk mendapatkan siswa-siswi terbaik dari seluruh Indonesia yang akan dibimbing lebih lanjut oleh tim bidang kompetisi masing-masing dan akan diikutsertakan pada olimpiade-olimpiade tingkat internasional.

Bidang

Jenjang SD: Matematika dan IPA
Jenjang SMP: Matematika, Fisika, Biologi, dan pada tahun 2008 ditambahkan bidang baru yaitu Astronomi, tetapi pada tahun 2009, bidang Astronomi ditiadakan kembali. Tahun 2010 ditambahkan bidang baru yaitu IPS
Jenjang SMA: Matematika, Fisika, Biologi, Kimia, Astronomi, Komputer, Ekonomi, dan pada tahun 2008 ditambahkan bidang baru yaitu Kebumian

Pelaksanaan

Sampai saat ini Olimpiade Sains Nasional telah dilaksanakan sebanyak delapan kali :
tahun 2002 di Yogyakarta.
tahun 2003 di Balikpapan, Kalimantan Timur.
tahun 2004 di Pekanbaru, Riau.
tahun 2005 di Jakarta.
tahun 2006 di Semarang, Jawa Tengah.
tahun 2007 di Surabaya, Jawa Timur.
tahun 2008 di Makassar, Sulawesi Selatan
tahun 2009 di Jakarta
tahun 2010 di Medan, Sumatera Utara.
tahun 2011 di Manado, Sulawesi Utara.

Dibawah ini saya mempunyai beberapa soal OSN bidang fisika dan seleksi TOFI yang mungkin berguna :

Soal seleksi TOFI 1998 download disini

Soal seleksi TOFI 1999 download disini

Soal seleksi TOFI 2000 download disini

Soal seleksi TOFI 2002 download disini

OSN 2004

Soal provinsi 2004 download disini

Soal OSN teori 2004 download disini

Soal OSN eksperimen 2004 download disini

OSN 2006

Soal Kabupaten 2006 download disini

Soal Provinsi 2006 download disini

Soal OSN teori 2006 download disini

Soal OSN eksperimen 2006 download disini

Solusi Provinsi 2006 download disini

Solusi OSN eksperimen 2006 download disini

OSN 2007

Soal jawab Provinsi 2007 download disini

Soal jawab OSN teori 2007 download disini

Soal jawab OSN eksperimen 2007 download disini

OSN 2008

Soal Kabupaten 2008 download disini

Soal Provinsi 2008 download disini

Soal OSN teori 2008 download disini

Soal OSN eksperimen 2008 download disini

Solusi Kabupaten 2008 download disini

Solusi Provinsi 2008 download disini

Solusi OSN eksperimen 2008 download disini

OSN 2009

Soal Kabupaten 2009 download disini

Soal Provinsi 2009 download disini

Soal OSN teori 2009 download disini

Soal OSN eksperimen 2009 download disini

Solusi Kabupaten 2009 download disini

Solusi Provinsi 2009 download disini

Solusi OSN teori 2009 download disini

Solusi OSN eksperimen 2009 download disini


Read More......

Jumat, 28 Januari 2011

IPhO ( International Physics Olympiad )

Olimpiade Fisika Internasional

Olimpiade Fisika Internasional (Inggris: International Physics Olympiad atau IPhO) adalah sebuah kompetisi fisika tahunan untuk pelajar Sekolah Menengah Atas. IPho merupakan salah satu dari olimpiade sains internasional. IPhO yang pertama diadakan di Warsawa, Polandia pada tahun 1967.

Setiap delegasi negara terdiri dari lima orang pelajar ditambah dua ketua yang dipilih pada tingkat nasional. Pengamat diperkenankan menemani tim nasional. Para pelajar berkompetisi secara individual dan harus menyelesaikan persoalan-persoalan teoritis dan laboratorium. Para pemenang akan mendapatkan medali emas, perak, perunggu atau gelar kehormatan.

Daftar penyelenggaraan
1967 Warsawa, Polandia
1968 Budapest, Hongaria
1969 Brno, Cekoslowakia
1970 Moskwa, Uni Soviet
1971 Sofia, Bulgaria
1972 Bukares, Rumania
1974 Warsawa, Polandia
1975 Guestrow, Jerman Timur
1976 Budapest, Hongaria
1977 Koeniggraetz, Cekoslowakia
1979 Moskwa, Uni Soviet
1981 Varna, Bulgaria
1982 Malente, Jerman Barat
1983 Bukares, Rumania
1984 Sigtuna, Swedia
1985 Portorož, Yugoslavia
1986 London-Harrow, Britania Raya
1987 Jena, Jerman Timur
1988 Bad Ischl, Austria
1989 Warsawa, Polandia
1990 Groningen, Belanda
1991 Havana, Kuba
1992 Helsinki, Finlandia
1993 Williamsburg, Amerika Serikat
1994 Beijing, Republik Rakyat Cina
1995 Canberra, Australia
1996 Oslo, Norwegia
1997 Sudbury, Ontario, Kanada
1998 Reykjavík, Islandia
1999 Padova, Italia
2000 Leicester, Britania Raya
2001 Antalya, Turki
2002 Bali, Indonesia
2003 Taipei, Taiwan
2004 Pohang, Korea Selatan
2005 Salamanca, Spanyol
2006 Singapura
2007 Isfahan, Iran
2008 Hanoi, Vietnam
2009 Mérida, Meksiko
2010 Zagreb, Kroasia
2011 Bangkok, Thailand
2012 Tartu dan Tallinn, Estonia
2013 Denmark
2014 Slovenia
2015 India
2016 Swiss dan Liechtenstein
2017 Moldova
2018 Portugal
2019 Israel
2020 Lithuania
2021 Indonesia
2022 Jepang
2023 Iran

Partisipasi Indonesia

Indonesia pertama kali mengikuti Olimpiade Fisika Internasional (IPhO) pada tahun 1993 dengan mengirimkan Tim Olimpiade Fisika Indonesia (TOFI). Berikut adalah prestasi yang berhasil diraih Tim Olimpiade Fisika Indonesia:

Jonathan Pradana Mailoa, Juara dunia IPhO 2006 dari Indonesia


IPhO 1993; 1 perunggu (Oki Gunawan) dan 1 honorable (Jemmy W)
IPhO 1994; tidak memperoleh medali
IPhO 1995; 1 perak (Teguh Budimulia), 1 perunggu (Agus B Abdillah), dan 3 honorable (Herry, Putu Adiartha, Rudy Raymond)
IPhO 1996; 1 perunggu (Wahyu Setiawan) dan 4 honorable (Andi Soedibjo, Andri Purnama, Wayan Gde, Herman Pandana)
IPhO 1997; 2 perunggu (Boy Tanto, Wayan Gde) dan 1 honorable (Hendra)
IPhO 1998; 3 honorable (Boy Tanto, Barlino Effendi, Ikhsan Ramdan)
IPhO 1999; 1 emas (Made Wirawan), 1 perak (Ferdinand Wawolumaya), 2 perunggu (Landobasa Tobing, Jerry Prawira), dan 1 honorable (Mamuri)
IPhO 2000; 4 perunggu (Bahar Riand Passa, Bremana Adhi, Yoga Dviyana, Halim K) dan 1 honorable (Zainul Abidin)
IPhO 2001; 2 perak (Rezy Pradipta, Frederick) dan 3 perunggu (Anthony Iman, Imam Makhfud, Rizki M Ridwan)
IPhO 2002; 3 emas (Widagdo Setiawan, Agustinus Peter Sanggamu, Fajar Ardian), 1 perak (Christoper Hendriks), dan 1 perunggu (Evelyn Mintarno)
IPhO 2003; 1 emas (Widagdo Setiawan), 2 perak (Bernard Ricardo, Rangga Perdana Budoyo), dan 2 perunggu (Tri Wiyono Darsono, Yudistira Virgus)
IPhO 2004; 1 emas (Yudistira Virgus), 1 perak (Edbert Jarvis Sie), 2 perunggu (Ardiansyah, Andhika Putra), dan 1 honorable (Ali Sucipto)
IPhO 2005; 2 emas (Andhika Putra, Ali Sucipto) dan 3 perunggu (Purnawirman, Michael Adrian, Ario Prabowo)
IPhO 2006; 4 emas (Jonathan Pradana Mailoa (juara dunia), Pangus Ho, Irwan Ade Putra, Andi Octavian Latief ) dan 1 perak (Muhammad Firmansyah Kasim)
IPhO 2007; 1 emas (Muhammad Firmansyah Kasim), 3 perak (Rudy Handoko Tanin, Musawwadah Mukhtar, Yosua M Maranatha), dan 1 perunggu (David Halim)
IPhO 2008; 2 emas (Kevin Winata, Rudy Handoko Tanin), 2 perak (Thomas Aquinas Nugraha Budi, Adam Badra Cahaya), dan 1 perunggu (Tyas Kokasih)
IPhO 2009; 1 emas (Fernaldo Richtia Winnerdy, 3 perak ( Winson Tanputraman, Dzuhri Radityo Utomo, Andri Pradana), dan 1 perunggu (Paul Zakaria Fajar Hanakata) 
IPhO 2010; 4 emas (Christian George Ernor, Kevin Soedyatmiko, David Giovanni, Muhammad Sohibul Maromi), 1 perak (Ahmad Ataka Awwalur Rizqi)

Disini saya punya beberapa soal IPhO yang mungkin berguna :

Download soal IPhO 2002-1 klik disini

Download soal IPhO 2002-2 klik disini

Download soal IPhO 2002-3 klik disini

Download solusi IPhO 2002-1 klik disini

Download solusi IPhO 2002-2 klik disini

Download solusi IPhO 2002-3 klik disini

Download soal IPhO 2008-1 klik disini

Download soal IPhO 2008-2 klik disini

Download soal IPhO 2008-3 klik disini

Download solusi IPhO 2008-1 klik disini

Download solusi IPhO 2008-2 klik disini

Download solusi IPhO 2008-3 klik disini

Read More......

Kamis, 27 Januari 2011

KERS ( Kinetic Energy Recovery System )

What is KERS?

The acronym KERS stands for Kinetic Energy Recovery System. The device recovers the kinetic energy that is present in the waste heat created by the car’s braking process. It stores that energy and converts it into power that can be called upon to boost acceleration.



How does it work?
There are principally two types of system - battery (electrical) and flywheel (mechanical). Electrical systems use a motor-generator incorporated in the car’s transmission which converts mechanical energy into electrical energy and vice versa. Once the energy has been harnessed, it is stored in a battery and released when required.

Mechanical systems capture braking energy and use it to turn a small flywheel which can spin at up to 80,000 rpm. When extra power is required, the flywheel is connected to the car’s rear wheels. In contrast to an electrical KERS, the mechanical energy doesn’t change state and is therefore more efficient.

There is one other option available - hydraulic KERS, where braking energy is used to accumulate hydraulic pressure which is then sent to the wheels when required.


Do the regulations place limitations on the use of KERS?
Currently the regulations permit the systems to convey a maximum of 60kw (approximately 80bhp), while the storage capacity is limited to 400 kilojoules. This means that the 80bhp is available for anything up to 6.67s per laps, which can be released either all in one go, or at different points around the circuit. Lap time benefits range from approximately 0.1 to 0.4s.

How is the stored energy released by the driver?
The regulations stipulate that the release must be completely under the driver’s control. There is a boost button on the steering wheel which can be pressed by the driver.

Why was KERS introduced?
The aims are twofold. Firstly to promote the development of environmentally friendly and road car-relevant technologies in Formula One racing; and secondly to aid overtaking. A chasing driver can use his boost button to help him pass the car in front, while the leading driver can use his boost button to escape. In line with the regulations, there are limits on the device’s use and therefore tactics - when and where to use the KERS energy - come into play.

Is a car running KERS heavier than one which is not running the system?
No. A typical KERS system weighs around 35 kilograms. Formula One cars must weigh at least 620kg (including the driver), but traditionally teams build the car to be considerably lighter and then use up 70kg of ballast to bring it up to weight. This means that teams with KERS have less ballast to move around the car and hence have less freedom to vary their car’s weight distribution. Heavier drivers are at a particular disadvantage, an issue addressed by the raising of the minimum car weight for the 2011 season.

Do teams have to use it?
The use of KERS is not compulsory. Several teams used it during its introductory 2009 season. A gentlemen's agreement between constructors then precluded its use in 2010, before its return in 2011.

Read More......

MAGLEV ( Magnetic Levitation Train )

Magnetic Levitation Train, also maglev train, a high-speed ground transportation vehicle levitated above a track called a guideway and propelled by magnetic fields. Magnetic levitation train technology can be used for urban travel at relatively low speeds (less than 100 km/h, or less than 62 mph). For example, a short-distance maglev shuttle operated for 11 years from 1984 to 1995 between the Birmingham, England, airport and the city train station. However, the greatest worldwide interest is in high-speed maglev systems. Train speeds of 552 km/h (343 mph) have been demonstrated by a full-size maglev vehicle in Japan, while in Germany a maglev train has run at 450 km/h (280 mph) and in China a maglev train has reached a peak speed of 432 km/h (268 mph).

Two different approaches to magnetic levitation train systems have been developed. The first, called electromagnetic suspension (EMS), uses conventional electromagnets mounted at the ends of a pair of structures under the train. The structures wrap around and under either side of the guideway. The magnets attract up toward laminated iron rails in the guideway and lift the train. However, this system is inherently unstable; the distance between the electromagnets and the guideway, which is about 10 mm (3/8 in), must be continuously monitored and adjusted by computer to prevent the train from hitting the guideway. A track 31.5 km (19.6 mi) long in Emsland, Germany, was used extensively to test this approach. As a result of these tests, the German government granted a commercial license to Transrapid International (TRI), a company headquartered in Berlin, Germany, to develop maglev systems based on the EMS design.
The second design, called electrodynamic suspension (EDS), uses the opposing force between superconducting magnets on the vehicle and electrically conductive strips or coils in the guideway to levitate the train. This approach is inherently stable, and it does not require continued monitoring and adjustment. There is also a relatively large clearance between the guideway and the vehicle, typically 100 to 150 mm (4 to 6 in). However, the EDS maglev system uses superconducting magnets, which are more expensive than conventional electromagnets and require a refrigeration system in the train to keep the superconducting magnets cooled to low temperatures (see Superconductivity). A 7-km (4-mi) test track for this design, based in large part on designs developed in the United States in the late 1960s and early 1970s, was built in 1977 in Miyazaki, Japan, by the Railway Technical Research Institute, a Japanese firm. Both EMS and EDS systems use a traveling magnetic wave along the guideway to propel the maglev train while it is suspended above the track.
Maglev systems offer a number of advantages over conventional trains that use steel wheels on steel rails. Because magnetic levitation trains do not touch the guideway, maglev systems overcome the principal limitation of wheeled trains—the high cost of maintaining precise alignment of the tracks to avoid excessive vibration and rail deterioration at high speeds. Maglev trains can provide sustained speeds greater than 500 km/h (300 mph), limited only by the cost of power to overcome wind resistance.
Because maglev vehicles do not touch the guideway and therefore encounter no friction, they can achieve faster acceleration and braking; greater climbing capability; enhanced operation in heavy rain, snow, and ice; and reduced noise. Maglev systems are also energy efficient. For distances of several hundred miles, they use about half the energy per passenger as a typical commercial aircraft. Electrified transportation systems, such as maglev systems, also reduce the use of petroleum and pollute the air less than aircraft, diesel locomotives, and automobiles (see Air Pollution).
A Transrapid maglev system began service in January 2004 in Shanghai, China, connecting the city to the Pudong International Airport. The train conveys passengers over the 32-km (20-mi) route between downtown and the airport in 8 minutes, compared with 30 minutes by automobile. Additional plans for high-speed maglev systems include two lines within Germany: one an 80-km (50-mi) route between Düsseldorf and Dortmund and the other a 30-km (20-mi) connector linking Munich to its airport.

In Japan, a 43-km (27-mi) maglev test track was built in 1996 in Yamanashi Prefecture, about 100 km (62 mi) west of Tokyo. If the proposed maglev vehicle successfully completed testing, the test track was to be extended in each direction to Tokyo and Osaka and opened to the public as a revenue-generating service. This new commercial line was expected to relieve passenger demand on the Shinkansen high-speed trains, which currently operate at peak speeds of 300 km/h (186 mph).
In the United States, two high-speed maglev projects using Transrapid technology have been selected by the U.S. Department of Transportation for environmental and preconstruction planning. One is a proposed 76-km (47-mi) track linking the city of Pittsburgh, Pennsylvania, its eastern suburbs, and Pittsburgh Airport. The other project is a proposed 64-km (40-mi) track linking Camden Yards in Baltimore, Maryland, the Baltimore-Washington Airport, and Union Station in Washington, D.C. For maglev systems to become a significant part of the U.S. transportation system, they will have to be viewed as an essential part of an integrated transportation infrastructure.


Read More......